BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Atresia ani paling sering terjadi
pada bayi yang baru lahir. Frekuensi seluruh kelainan kongenital anorektal
didapatkan 1 dari tiap 5000-10000 kelahiran, sedangkan atresia ani didapatkan 1
% dari seluruh kelainan kongenital pada neonatus dan dapat muncul sebagai
penyakit tersering. Jumlah pasien dengan kasus atresia ani pada laki-laki lebih
banyak ditemukan dari pada pasien perempuan. Insiden terjadinya atresia ani
berkisar dari 1500-5000 kelahiran hidup dengan sedikit lebih banyak terjadi
pada laki-laki. 20 % -75 % bayi yang menderita atresia ani juga menderita
anomali lain. Kejadian tersering pada laki-laki dan perempuan adalah anus
imperforata dengan fistula antara usus distal uretra pada laki-laki dan
vestibulum vagina pada perempuan. Angka kajadian kasus di Indonesia sekitar 90
%. Berdasarkan dari data yang didapatkan penulis, kasus atresia ani yang
terjadi di Jawa Tengah khususnya Semarang yaitu sekitar 50 % dari tahun 2008-2010.
Menyikapi kasus yang
demikian serius akibat dari komplikasi penyakit atresia ani, maka penulis mengangkat
kasus atresia ani untuk lebih memahami perawatan pada pasien dengan atresia
ani. Berdasarkan berbagai masalah yang dihadapi klien, maka penulis tertarik
untuk 2 mengambil Karya Tulis Ilmiah dengan judul Asuhan Keperawatan Pada An.
A Dengan Atresia Ani Post Tutup Colostomy Di Ruang Luqman Rumah Sakit Roemani
Muhammadiyah Semarang .
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
A. Tujuan Umum
Menggambarkan asuhan keperawatan anak dengan atresia ani untuk pemeliharan kesehatan yang efektif dan mendapatkan pengetahuan dengan cara melakukan pembuatan
makalah dengan masalah kesehatan atresia ani.
B. Tujuan Khusus
1. Dapat mengetahui pengertian atresia ani pada
bayi
2. Dapat
mengetahui etiologi dari atresia ani pada bayi
3. Dapat mengetahui patofisiologis dari atresia
ani pada bayi
4. Dapat mengetahui
komplikasi dari atresia ani pada bayi
5. Dapat mengetahui klasifikasi dari atresia ani
pada bayi
6. Dapat mengetahui pelaksanaan terapi dan
tindakan medis yang bertujuan untuk pengobatan dari atresia ani pada bayi
7. Dapat mengetahui asuhan keperawatan untuk
bayi dengan atresia ani
8. Dapat mereview jurnal utama dan pendukung
yang terkait dengan atresia ani
9. Dapat
mengetahui kelebihan dan keterbatasan intervensi sesuai jurnal
1.4 Metode Penulisan
Dalam metode
penulisan makalah ini penulis menggunakan metode studi kasus. Dalam
mengumpulkan data umtuk proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian, analisa data, diagnosis, perencanaan,
implementasi dan evaluasi. Teknik
penulisan yaitu pengumpulan data dengan melakukan observasi kemudian
menggambarkannya dengan memaparkan dalam bentuk Makalah Asuhan Keperawatan. Sedangkan
untuk pengumpulan data sebagai berikut:
A. Anamnesa
Diperoleh
dengan menanyakan dengan pasien
dan
keluarga pasien mengenai
perjalanan penyakit dan hal-hal yang berhubungan dengan penyakit tersebut.
B. Observasi
Pengadaan pengamatan dan perawatan terhadap keadaan
pasien serta perkembangan penyakit dengan melakukan asuhan keperawatan.
C. Studi Dokumentasi
Pengumpulan data tentang keadaan pasien dari catatan
medic, catatan perawatan, hasil laboratorium, serta pemeriksan penunjang lain.
D. Studi Kepustakaan
Metode pengumpulan data dengan
mempelajari sumber tertulis berupa pula yang ada hubungannya denga materi yang
bersifat dalam pembuatan karya tulis ilmiah dan melalui akses internet.
1.5 Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini disusun
secara sistematis dan diurutkan menjadi 5 bab :
A. Bab 1 Pendahuluan
Meliputi latar
belakang,
rumusan masalah, tujuan
penulisan, metode penulisan
dan sistematika penulisan.
B. Bab 2 Tinjauan Teoritis
Meliputi pengertian, etiologi, patofisiologi, proses perjalanan penyakit, manifestasi klinik, komplikasi, klasifikasi, penatalaksanaan,
pengkajian, analisa data, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan,
implementasi keperawatan dan evaluasi
C. Bab 3 Jurnal Review
Meliputi Jurnal utama dan pendukung yang berisikan peneliti,
tujuan penelitian, desain penelitian, metodologi penelitian, pengukuran (dengan
variabel, alat ukur, dan uji statistik),
hasil penelitian dan rekomendasi.
D. Bab 4 Pembahasan
Meliputi kelebihan
atau keuntungan intervensi dan keterbatasa atau kerugian intervensi (sesuai
jurnal atau Evidence Based Practice in
Nursing yang dipilih).
E. Bab 5 Penutup
kesimpulan dan saran.
BAB
2
TINJAUAN
TEORITIS
2.1 Pengertian
Atresia ani merupakan salah satu kelainan kongenital
yang terjadi pada anak. Atresia ani (anus Imperforata) merupakan suatu keadaan
lubang anus tidak berlubang (Rizema, Setiatava P, 2012).
Malformasi anorektal adalah kelainan bawaan anus
yang disebabkan oleh gangguan pertumbuhan dan pembentukan anus dari tonjolan
embrionik (Arif mansjoer, 2010).
Atresia ani atau
anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan
bagian endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus
tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun
tidak berhubungan langsung dengan rektum
(Purwanto, 2010).
2.2 Etiologi
Malformasi anorektal atau atresia ani belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli
berpendapat bahwa kelainan ini sebagai akibat dari abnormalitas perkembangan
embriologi anus, rektum dan traktus urogenital, dimana septum tidak membagi
membran kloaka secara sempurna. Terdapat beberapa faktor prognostik yang
mempengaruhi terjadinya morbiditas pada malformasi anorektal, seperti
abnormalitas pada sakrum, gangguan persarafan pelvis, sistem otot perineal yang
tidak sempurna, dan gangguan motilitas kolon.
2.3 Patofisiologi
A. Proses Perjalanan Penyakit
Atresia ani
ini terjadi karena tidak sempurnanya migrasi dan perkembangan kolon antara 7-10
minggu selama perkembangan janin. Kegagalan tersebut terjadi karena
abnormalitas pada daerah uterus dan vagina, atau juga pada proses obstruksi.
Anus imperforate ini terjadi karena tidak adanya pembukaan usus besar yang
keluar anus sehingga menyebabkan feses tidak dapat dikeluarkan.
Manifestasi
klinis diakibatkan adanya obstuksi dan adanya fistula. Obstuksi ini mengakibatkan
distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya Apabila
urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga
terjadi asidosis hiperchloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus
urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan
terbentuk fistula antara rectum dengan organ sekitarnya. Pada wanita 90% dengan
fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-
laki biasanya letak tinggi, umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke
prostate (rektovesika) pada letak rendah fistula menuju ke urethra
(rektourethralis).
B. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala yang khas pada klien antresia ani seperti :
1. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.
3. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya
4. Distensi bertahap dan adanya
tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula).
5. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
6. Pada pemeriksaan rectal touché
terdapat adanya membran anal, Perut
kembung.
C. Komplikasi
1. Kelainan
kardiovaskuler
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani.
Jenis kelainan yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten
ductus arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal
defect.
2. Kelainan
gastrointestinal
Kelainan yang ditemui berupa kelainan
trakeoesofageal (10%), obstruksi duodenum (1%-2%).
3. Kelainan tulang
belakang dan medulla spinalis
Kelainan tulang
belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral seperti
hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan
kelainan spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan
teratoma intraspinal.
4. Kelainan
traktus genitourinarius
Kelainan traktus
urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada atresia ani. Beberapa
penelitian menunjukkan insiden kelainan urogenital
dengan atresia ani letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani
letak rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun
muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and
Renal abnormality) dan VACTERL (Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal,
Renal and Limb abnormality).
5. Komplikasi
jangka panjang
6. Stenosis
(akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis)
7. Masalah atau
kelambatan yang baerhubungan dengan toilet training
8. Inkontinensia
(akibat stenosis anal atau impaksi)
D. Klasifikasi
Penggolongan anatomis untuk terapi
dan prognosis:
Laki-laki:
Golongan I |
Tindakan |
1. Fistel
urine 2. Atresia
rekti 3. Perineum
datar 4. Tanpa
fistel. Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram |
Kolostomi neonates Operasi definitive Usia 4 6
bulan |
Golongan II |
Tindakan |
1. Fistel perineum 2. membrane
anal meconium tract 3. Stenosis
ani 4. Bucket
handle 5. Tanpa
fistel. Udara <> |
Operasi
definitive pada neonates Tanpa
kolostomi |
Perempuan:
Golongan I |
Tindakan |
1. Kloaka 2. Fistel
vagina 3. vistel vestibulum ano 4. Atresia rekti 5. Tanpa fistel |
Kolostomi neonatus Usia 4-6 bulan |
Golongan II |
Tindakan |
1. Fistel perineum 2. Stenosis 3. Tanpa fistel. Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. |
Operasi definitif pada neonatus |
2.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada penyakit atresia ani ada dua pilihan
yaitu : terapi dan tindakan medis yang bertujuan untuk pengobatan. Pengobatan
farmakologis dilakukan dengan menggunakan obat-obatan sedangkan pengobatan
nonfarmakologis atau tanpa obat, antara lain dilakukan dengan menganut gaya
hidup sehat,
A. Terapi
Terapi suportif pasca operasi yang dibutuhkan
adalah:
1) Pemasangan kateter foley
dilakukan pada bayi laki-laki dengan fistula rektouretra selama sekitar 5-7
hari, kadang lebih lama.
2) Dua minggu pasca operasi
dilakukan dilatasi pada anus baru menggunakan alat dilator. Dimulai dari ukuran
kecil ke besar sesuai usia anak sampai tercapai ukuran diameter anus yang
sesuai usia anak.
3) Konstipasi pasca
pembedahan diatasi dengan pemberian laksatif dan pengaturan diet.
B. Tindakan medis
Tindakan medis pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai
dengan keparahan defek. Semakin tinggi lesi, semakin rumit prosedur
pengobatannya. Untuk anomaly tinggi, dilakukan kolostomi beberapa hari setelah
lahir. Bedah definitifnya, yaitu anoplasti perineal (prosedur penarikan
perineum abdominal), umumnya ditunda 3-12 bulan.
Penundaan
ini dimaksudkan untuk memberi waktu pada pelvis untuk membesar dan pada
otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah
berat badannya dan bertambah baik status nutrisinya. Lesi rendah diatasi dengan
menarik kantong rectal melalui sfingter sampai lubang pada kulit ananl.
Fistula, bila ada harus ditutup. Defek membranosa hanya memerlukan tindakan
pembedahan yang minimal. Membran tersebut dilubangi dengan hemostat atau
scalpel.
Pada
kebanyakan kasus, pengobatan malformasi anorektal memerlukan dua tahap tindakan
pembedahan. Untuk defek ringan sampai sedang, prognosisnya baik. Defeknya dapat
diperbaiki, peristalsis dan kontinensia normal juga dapat diperolah. Defek yang
lebih berat umumnya disertai anomaly lain, dan hal tersebut akan menambah
masalah pada hasil tindakan pembedahan. Anus imperforata biasanya memerlukan
operasi sedang untuk membuka pasase feses.
Tergantung
pada beratnya imperforate, salah satu tindakan adalah anoplasti perineal atau
colostomy : prosedur operasi termasuk menghubungkan bagian atas colon dengan
dinding anterior abdomen, pasien ditinggalkan dengan lubang abdomen disebut
stoma. Lubang ini dibentuk dari ujung usus besar melalui insisi dan sutura ke
kulit.
Setelah
colostomy, feses dibuang dari tubuh pasien melalui stoma, dan terkumpul dalam
kantong yang melekat pada abdomen yang diganti bila perlu. Pengobatan pada anus
malformasi anorektal juga dapat dilakukan dengan jalan operasi PSARP (Posterio
Sagital Anorectoplasy). Teknik ini punya akurasi tinggi untuk membuka lipatan
bokong pasien. Teknik ini merupakan ganti dari teknik lama yaitu Abdomino
Perineal Poli Through (APPT). Teknik lama ini mempunyai resiko gagal tinggi
karena harus membuka dinding abdomen.
1) Kolostomi
Kolostomi
pada kolon desendens merupakan prosedur yang ideal untuk penatalaksanaan awal
malformasi anorktal. Tindakan kolostomi merupakan upaya dekomprasi, diversi,
dan sebagai proteksi terhadap kemungkinan terjadinya obstruksi usus. Kolostomi
pada kolon desendens mempunyai beberapa keuntungan disbanding dengan kolostomi
pada kolon asendens atau transversum. Bagian distal dari kolostomi akan
mengalami disfungsi dan akan terjadi atropi karena tidak digunakan. Dengan
kolostomi pada kolon desendens maka segmen yang akan mengalami disfungsi
menjadi lebih pendek. Atropi dari segmen distal akan berakibat tejadinya diare
cair sampai dilakukan peneutupan stoma dan hal ini dapat diminimalkan dengan
melakukan kolostomi pada kolon desendens. Pembersihan mekanik kolon distal
lebih mudah dilakukan jika kolostomi terletak di bagian kolon desendens.
Pada kasus
dengan fistel anorektal, urin sering keluar melalui kolon, untuk kolostomi
distal akan keluar memalui stoma bagian distal tanpa danya absorbs. Bila stoma
terletak di kolon proksimal, urin akan keluar ke kolon dan akan diabsorbsi, hal
ini akan meningkatkan resiko terjadinya asidosis metabolic. Loop
kolostomi akan menyebabkan aliran urin dari stoma proksimal ke distal usus
dan terjadi infeksi saluran kencing serta pelebaran distal rectum. Distensi
rectum yang lama akan menyebabkan kerusakan dinding usus yang irreversible
disertai dengan kelainan hipomotilitas dinding usus yang menetap, hal ini akan
menyebabkan konstipasi di kemudian hari. Double barrel transversocolostomy
dextra dengan tujuan dekomprasi dan diversi memiliki keuntungan antara
lain :
a. Meninggalkan
seluruh kolon kiri bebeas pada saat tindakan definitf tidak menimbulkan
kesulitan
b. Tidak
terlalu sulit dikerjakan
c. Stoma distal dapat berlaku
sebagaimana muara pelepasan secret kolon distal
d. Feses kolon
kanan relative tidak berbau dibanding kolon kiri oleh karena pembusukan feses.
e. Dimungkinkan irigasi dan pengosongan
dari kantong rectum yang buntu
2) Posterosagital
anorectoplasty (PSARP)
Metode ini
diperkenalkan oleh Pena dan de Vries pada tahun 1982. Prosedur ini memebrikan
beberapa keuntungan seperti kemudahan dalam operasi fistel rektourinaria maupun
rektovaginal dengan cara membelah otot pelvis, sing, dan sfingter. PSARP dibagi
menjadi tiga yaitu minimal, limited, dan full PSARP. Posisi penderita
adalah prone dengan elevasi pada pelvis. Dengan bantuan stimulator dilakukan
identifikasi anal dimple. Insisi dimulai dari tengah sacrum ke bawah
melewati pusat sfingter eksterna ampai kedepan kurang lebih 2 cm. Insisi
diperdalam dengan membuka subkutis, lemak, parasagital
fibre dan muscle complex. Tulangcoccygeus dibelah sehingga
tampak dinding belakang rectum. Rektum dibebaskan dari dinding belakang dan
jika ada fistel dibebaskan juga, rectum dipisahkan dengan vagina yang dibatasi
oleh common wall. Dengan jahitan, rectum ditarik melewati otot
levator,muscle complex, dan parasagital fibre kemudian
dilakukan anoplasty dan dijaga agar tidak tegang.
Untuk
minimal PSARP tidak dilakukan pemitingan otot levator maupun vertical
fibre, yang penting adalah memisahkan common wall untuk
memsahkan rectum dengan vagina dan dibelah hanya otot sfingter eksternus.
Untuk limited PSARP yang dibelah adalah otot sfingter
eksternus, muscle fibre, muscle complex, serta tidak memberlah
tulang coccygeus. Penting melakukan diseksi rectum agar tidak merusak vagina.
Masing-masing jenis prosedur mempunyai indikasi yang
berbeda. Minimal PSARP dilakukan pada fistell perianal, anal
stenosis, anal membrane, bucket handle, dan atresia ani tanpa fistel yang
akhiran rectum kurang dari 1 cm dari kuit. Limited PSARP dilakukan
pada atresia ani dengan fistel rektovestibular. Full PSARP dilakukan
pada atresia ani letak tinggi, dengan gambaran invertogram akhir rectum lebih dari
1 cm dari kulit, pada fistelrektovaginalis, fistel rekto uretralis, atresia
rectum, dan stenosis rectum.
BAB
3
JURNAL REVIEW
3.1 Jurnal Utama
A. Peneliti
Dede Nurhayati, Ai Mardhiyah, Fanny Adistie.
Fakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran Bandung
B. Tujuan Penelitian
untuk mengetahui kualitas hidup pada anak
usia toddler paska kolostomi.
C. Desain Penelitian
deskriptif kuantitatif dengan sampel
sebanyak 35 responden diambil dengan teknik consecutive sampling. Partisipan
yang terlibat penelitian yaitu orang tua anak usia toddler yang telah dilakukan
pembedahan kolostomi. Data diambil
dengan menggunakan kuesioner pediatric
quality of life inventory (Peds QL).
D. Metodologi Sampling
Populasi penelitian ini adalah orang
tua memiliki anak usia toddler paska
kolostomi yang dirawat dan akan dilakukan tindakan operasi definitif di Rumah
Sakit Pusat Rujukan di Bandung dengan rata-rata kunjungan pasien per bulan
sebanyak 35 orang. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan
teknik consecutive sampling dengan kriteria inklusi yaitu anak yang terpasang
kantong stoma minimal 6 bulan setelah dilakukan tindakan kolostomi, anak
berusia 1-4 tahun, tidak memiliki penyakit penyerta.Pengumpulan data dilakukan
dari bulan Mei-Juni 2017.
Instrumen untuk pengumpulan data dalam
penelitian tersebut berupa kuesioner. Terdiri dari 2 kuesioner untuk usia 12-24
bulan dan 2-4 tahun.Kuesioner menggunakan pertanyaan tertutup yang berhubungan
dengan kualitas hidup anak yaitu pedi-atric quality of life inventory (Peds QL)
infant untuk usia 12-24 bulan. Kuesioner tersusun atas 45 item terdiri dari:
fungsi fisik, gejala fisik, fungsi emosi,Fungsi sosial dan fungsi kognitif.
Sedangkan kuesioner
pediatric quality of life inventory (Peds
QL) tod-dlers untuk usia 2-4 tahun tersusun atas 21pertanyaan terdiri dari:
fungsi fisik, fungsi emosi, fungsi sosial dan fungsi sekolah di tempat
penitipan anak
anak sekolah. Kuesioner dikembangkan oleh
James W. Varni, diadopsi dari penelitian Mariani (2011) versi Bahasa Indonesia.
Kuesioner Peds QL ini memuat pertanyaan
dengan skala 0 sampai 4. Penilaian diberikan dengan nilai 0-4 pada setiap item
pertanyaan dengan rincian sebagai berikut: nilai 0 (tidak pernah ada masalah
pada item pertanyaan tersebut), 1 (hampir tidak pernah ada
masalah pada item pertanyaan tersebut), 2
(kadang-kadang ada masalah pada item pertanyaan tersebut,3 (sering ada masalah
pada item pertanyaan tersebut),4 (selalu ada masalah pada item pertanyaan
tersebut).Pada setiap jawaban pertanyaan dikonversikan dalam sakla 0-100 untuk
interpretasi standar: angka 0 = 100,angka 1 = 75, angka 2 = 50, angka 3 = 25,
angka 4 =0. Nilai total dihitung dengan cara menjumlahkan nilai
pertanyaan yang mendapat jawaban dibagi
dengan Jumlah pertanyaan yang dijawab pada semua bidang tersebut.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan
metode statistik deskriptif. Berdasarkan hasil uji normalitas data didapatkan
bahwa hasil untuk keseluruhan skor data kualitas hidup anak usia tod-dler paska
colostomi berdistribusi normal, sehingga peneliti mengkategorikan berdasarkan
nilai mean.Dikatakan kualitas hidup baik pada anak usia tod-dler paska
colostomy apabila mempunyai total skor yang sama dengan atau lebih besar dari
nilai mean dan dikatakan buruk apabila mempunyai total skor
lebih kecil dari nilai mean.
E. Pengukuran
F. Hasil Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juni
2017 di Bandung dengan jumlah sampel sebanyak 35 orang. Karakteristik anak yang
diteliti meliputi usia,jenis kelamin, diagnosa medis, dan status gizi pada
anak, sedangkan karakteristik responden yang
diteliti meliputi usia, pendidikan, pekerjaan, penghasilan. Dari 35 anak yang
terpasang kolostomi dan menjalani perawatan di Rumah Sakit Pusat Rujukan di
Bandung diketahui bahwa 68,6% berjenis kelamin laki-laki, lebih dari 50% umur
anak berusia antara 3-4 tahun.Penyebab anak dilakukan pembedahan kolostomi
adalah terdiagnosa malformasi anorektal (85,7%),setengah dari anak paska
colostomi telah terpasang kolostomi selama >2 tahun. Status gizi anak yang
terpasang kolostomi dilihat dari indikator IMT/U 68,57% memiliki status gizi
baik dan 31,42% memiliki status gizi kurang. Hampir seluruh responden yaitu
orang tua berada pada rentang usia 18-40 tahun atau berada pada masa dewasa
awal. Hampir setengah orang tua anak bekerja sebagai ibu rumah tangga (68,6%),
serta penghasilan rata-rata perbulan <UMK (65,7%). Adapun terkait tingkat
pendidikan, kelompok terbesar berada pada kategori tingkat pendidikan SMA
(57,1%).
Dari tabel 2 menunjukkan bahwa lebih banyak
responden pada semua usia memiliki kualitas hidup yang buruk masing-masing
56,25% dan 52,73%.
Dari tabel 3 menunjukkan bahwa kualitas
hidup pada dimensi kognitif memiliki nilai terendah dan dimensi sosial memiliki
nilai tertinggi.
G. Rekomendasi
Bagi perawat diharapkan hasil penelitian ini
dapat memberikan referensi guna meningkatkan kualitas hidup anak usia toddler
paska kolostomi dengan melakukan intervensi tambahan yaitu terapi psikologis
kepada orang tua untuk membantu menangani emosi negatif anak dan memberikan
edukasi kepada orang tua terkait prosedur dan pentingnya pemberian stimulus
pada anak usia tod-
dler sehingga perkembangan kognitif anak
berkembang sesuai dengan tahapan usia. Selain itu perawat perlu melakukan
pengkajian rutin terkait
kualitas hidup anak usia toddler paska
kolostomi, dengan melakukan pengkajian tersebut diharapkan perawat dapat
mengidentifikasi permasalahan yang terjadi pada anak, sehingga memudahkan
perawat untuk memberikan intervensi yang tepat. Bagi peneliti selanjutnya hasil
penelitian ini dapat dijadikan data dasar untuk penelitian faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup anak paska kolostomi.
3.2 Jurnal Pendukung
A. Peneliti
La Rangki, Kusman Ibrahim, Aan Nuraeni, RSUD
Kabupaten Muna, Akper Pemkab Muna, Fakultas Keperawatan Universitas
Padjadjaran.
B. Tujuan Penelitian
memberikan asuhan keperawatan
terhadap pasien pasca kolostomi secara menyeluruh. Penelitian kualitatif
terhadap pasien kolostomi sangat diperlukan sebagai upaya untuk mengungkap
secara mendalam pengalaman hidup pasien pasca kolostomi dan menemukan new
insight, sehingga dapat menambah pengetahuan perawat dalam upaya meningkatkan
kualitas asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien.
C. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif fenomenologi. Penelitian ini dilakukan terhadap delapan informan
yang merupakan pasien rawat jalan dengan menggunakan teknik purposive sampling.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam (in-depth interview),
dengan menggunakan alat perekam suara (voice recorder). Analisis data
menggunakan metode Colaizzi. Pada penelitian ini juga memperhatikan keandalan
data dan prinsip etika penelitian.
D. Metodelogi Sampling
Data didapatkan dengan wawancara mendalam
terhadap delapan informan yang merupakan pasien rawat jalan, terdiri dari lima
lakilaki dan tiga perempuan, usia antara 30 tahun sampai dengan 73 tahun.
Lamanya hidup dengan kolostomi antara empat bulan sampai dengan enam tahun.
Analisis hasil wawancara menggunakan metode Colaizzi.
E. Teknik Pengukuran
penelitian ini diperoleh delapan
tema yang merupakan kompilasi dari seluruh pengalaman informan yang hidup dengan
stoma yakni: keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari, perubahan psikososial informan,
keterbatasan dalam ritual keagamaan atau distres spirual, keterbatasan dalam aktivitas
sosial, sumber-sumber dukungan bagi informan, upaya menjalani hidup dengan stoma,
adaptasi terhadap perubahan yang terjadi, dan penyulit dalam menjalani hidup dengan
kolostomi.
Tema pertama dalam penelitian
ini yaitu keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari. Informan dalam penelitian ini
mengalami kondisi yang serba terbatas untuk melakukan segala sesuatu dalam kehidupannya,
yakni sebagai berikut: keterbatasan dalam makan dan minum, keterbatasan dalam beraktivitas
dan bekerja, keterbatasan dalam istrahat dan tidur, keterbatasan dalam buang air
kecil, dan keterbatasan untuk mandi, merawat luka dan ganti kantong.Penelitian ini
menemukan bahwa informan mengalami keterbatasan dalam memilih makanan. Seperti yang
dikeluhkan oleh beberapa informan dalam penelitian ini. “....saya hindari makan
pedas, asam dan tidak minum susu, karena selalu mencret....”(I.5) ,“......makan
nggak masuk, saya dikasih air saja satu sendok, sama susu sedikit aja, trus dikasih
bubur tapi nggak masuk......” (I.3)
Tema kedua dari hasil penelitian
ini yaitu perubahan psikososial informan. Selain perubahan secara fisik, muncul
juga perubahan secara psikologis dan dalam berinteraksi sosial, berupa adanya perasaan
takut, stres dan cemas serta perubahan pada komponen konsep diri berupa perubahan
pada citra tubuh, peran diri, dan ideal diri. Pada kategori ini terungkap beberapa
hal yaitu: adanya rasa takut akibat kanker, perubahan pada citra tubuh, perubahan
pada peran diri, perubahan pada ideal diri, perubahan pada harga diri, dan perubahan
pada interaksi sosial.Ketakutan pada informan muncul setelah didiagnosis kanker
kolon dan rektum. Stres juga dirasakan akibat hidup dengan stoma. Berikut ungkapan
informan: “....saya sering dengar tetangga bilang, kalo operasi dua kali pasti mati
katanya, saya takut sekali...” (I.1) “.....kata dokter saya kena kanker, saya takut
mati, persiapan saya belum banyak bila mati sekarang....”(I.4)
Tema ketiga yang didapatkan dari
hasil penelitian ini yaitu keterbatasan dalam ritual keagamaan atau distres spiritualHidup
dengan kolostomi juga menyebabkan perubahan informan dalam kegiatan ibadah sehingga
mengalami distres spiritual, hal ini dialami oleh semua informan. Pada tema ini,
informan mengungkapkan bahwa terdapatnya perubahan pada perilaku ibadah dan pertentangan
pada keyakinan informan.Pada penelitian ini ditemukan bahwa pada awalnya informan
merasa risih bila salat dengan kantong yang melekat pada dinding perutnya. Berikut
ungkapan informan:“....saya sejak awal saya merasa malu bertemu Tuhan soalnya saya
rasa diri tidak suci, kentut terus saat sembahyang, kadang saya kena mencret, trus
saya juga tidak bisa sujud karena takut kantong kolostomi saya bocor dan tertarik,
makanya saya tidak berani sholat, sekarang ini saya sholat dengan berdiri saja tanpa
sujud...” (I.4) “....saya risih bila sholat... menghadap sama Tuhan dengan kondisi
begini..” (I.2)“.....saya belum sholat jumat sejak operasi empat bulan yang lalu,
masih rasa risih juga....” (I.6)
Tema keempat dari penelitian ini yaitu
adanya keterbatasan dalam aktivitas seksual Hidup dengan kolostomi juga berdampak
pada perubahan aspek seksual yang dialami oleh sebagian informan. Beberapa informan
mengalami disfungsi ereksi akibat dari efek terapi sinar. Berikut ungkapan informan:“...saya
takut untuk hubungan badan, karena berpengaruh pada kantong stoma saya...”(I.2)“...setelah
sinar, saya alami yang orang sebut disfungsi ereksi,jadi sulit hubungan badan...”
(I.1)“....setelah operasi saya alami kesulitan ereksi, tpi lama-lama bisa pulih
lagi, mungkin karena banyak pikiran jadi berpengaruh juga...” (I.3)
Tema kelima dari hasil penelitian
ini yaitu adanya sumber-sumber dukungan bagi informan. Pada penelitian ini setiap
informan banyak mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, dukungan tersebut sangat
bermanfaat bagi kelangsungan hidup informan setelah menjalani hidup dengan kolostomi.
Pada tema ini teridentifikasi tiga subtema yaitu dukungan keluarga, dukungan kelompok,
dan dukungan dari dokter dan perawat. Pada penelitian ini semua informan mendapatkan
dukungan dari keluarga, mulai dari sejak didiagnosis kanker kolon dan rektal hingga
setelah operasi kolostomi.Sebagaimana ungkapan informan berikut ini:“....sejak dari
rumah sakit ketika dirawat saya selalu ditemani, termasuk setelah operasi, saya
dilatih duduk, terus berdiri kemudian berjalan dan selalu dimotivasi untuk tetap
kuat...”(I.2)
F. Hasil Penelitian
Penelitian ini menunjukkan hasil
bahwa informan mengalami keterbatasan dalam melakukan aktivitas atau kegiatan
harian. Setiap manusia menginginkan untuk hidup secara bebas dalam melakukan
segala sesuatu yang diinginkannya, namun tidak demikian pada pasien stoma
pascakolostomi. Pasien stoma mengalami banyak perubahan. Kondisi ini dapat
menjadikan pasien merasa terbatas untuk melakukan segala sesuatu.
Beberapa informan menyatakan
bahwa dirinya mengalami keterbatasan memilih jenis makanan. Perubahan tersebut
berupa makan bubur, menghindari makanan pedas,bumbu-bumbu, asam dan susu, juga
terjadi penurunan nafsu makan. Dampak dari hal tersebut menyebabkan terjadinya
keraguan memilih makanan. Kondisi ini dapat menurunkan status kesehatan pada
informan, sebaiknya informan juga tetap mencoba untuk mengonsumsi makanan yang
ada untuk memperbaikan kondisi kesehatan pasien. Hal ini sebagaimana pernyataan
Vujnovich (2008) bahwa terdapat banyak isu yang penting untuk didiskusikan
dengan pasien stoma, termasuk
tentang diet.
Manajemen diet pascakolostomi
sangat penting dilakukan pada pasien yang bertujuan untuk mencegah terjadinya
sumbatan pada bagian usus besar pascabedah, meningkatkan proses penyembuhan
pada luka operasi dan meminimalkan terjadinya gangguan pada saluran pencernaan,
seperti kentut, diare, kostipasi, dan bau stoma. Pada kondisi postoperation
sangat penting makanan tinggi kalori, tinggi protein untuk penyembuhan luka,
dan rendah lemak (Akbulut, 2011).
Pada penelitian ini beberapa
informan mengalami kesulitan melakukan aktivitasnya sehari-hari dalam pemenuhan
kebutuhannya, sehingga sebagian besar informan dibantu oleh keluarga terutama
oleh suami ataupun istridari informan. Kesulitan untuk melakukan aktivitas ini
membuat informan menjadi ketergantungan pada keluarganya, hal ini akan
berdampak pada terhambatnya keluarga dalam tugas harian mereka. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan Karadag, dkk., (2002) yang menyimpulkan
bahwa kolostomi memiliki dampak negatif yang sangat berat pada kualitas hidup
pasien. Sedangkan pada penelitian lain juga menemukan bahwa stoma berpengaruh
pada keterbatasan melakukan aktivitas sehari-hari dan pergaulan sosial
(Joshland, Brennan, Anastasiou, & Brown, 2011). Pasien dengan stoma
menghadapi beberapa stres khusus, yakni kemungkinan terisolasi, harga diri yang
rendah, gangguan citra tubuh, dan memiliki rasa tidak kompeten (Black, 2004).
Terbatasnya pemenuhan istrahat
dan tidur juga dialami oleh beberapa informan pada penelitian ini. Pada
informan tujuh, penyebab susah tidur lebih diakibatkan karena adanya rasa sakit
dan pegal pada punggung dan paha. Sedangkan pada informan lima sulit tidur
diakibatkan oleh banyak memikirkan masa depan keluarga bila dirinya meninggal
akibat penyakit yang dialaminya. Informan yang mengalami kesulitan tidur ini
berdampak pada perubahan kesehatan mental informan yang juga berdampak buruk
pada kondisi fisik secara keseluruhan.
Perubahan pada aspek fisik yang
juga dialami oleh pasien stoma pascakolostomi adalah pengalaman eliminasi urin
berupa tidak bisa buang air kecil juga ditemukan pada penelitian ini, seperti
yang dialami oleh informan dua dan informan tujuh. Perubahan pada eliminasi
berupa disuria, dimana klien merasakan kesulitan kencing dan rasa sakit ada
kandung kemih. Penelitian yang dilakukan Lone, dkk. (2007) dengan metode
prospektif, terhadap 249 pasien kanker kolorektal dengan lama berkisar 3, 6,
12, 24 bulan setelah operasi, selanjutnya dilakukan follow up, sehingga
diperoleh hasil bahwa pasien dengan stoma memiliki masalah pada perkemihan
berupa sulit dan terasa sakit saat berkemih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar