Sabtu, 29 Mei 2021

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN ANAK PADA AN. A DENGAN ATRESIA ANI

 

BAB 1

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Atresia ani paling sering terjadi pada bayi yang baru lahir. Frekuensi seluruh kelainan kongenital anorektal didapatkan 1 dari tiap 5000-10000 kelahiran, sedangkan atresia ani didapatkan 1 % dari seluruh kelainan kongenital pada neonatus dan dapat muncul sebagai penyakit tersering. Jumlah pasien dengan kasus atresia ani pada laki-laki lebih banyak ditemukan dari pada pasien perempuan. Insiden terjadinya atresia ani berkisar dari 1500-5000 kelahiran hidup dengan sedikit lebih banyak terjadi pada laki-laki. 20 % -75 % bayi yang menderita atresia ani juga menderita anomali lain. Kejadian tersering pada laki-laki dan perempuan adalah anus imperforata dengan fistula antara usus distal uretra pada laki-laki dan vestibulum vagina pada perempuan. Angka kajadian kasus di Indonesia sekitar 90 %. Berdasarkan dari data yang didapatkan penulis, kasus atresia ani yang terjadi di Jawa Tengah khususnya Semarang yaitu sekitar 50 % dari tahun 2008-2010.

Menyikapi kasus yang demikian serius akibat dari komplikasi penyakit atresia ani, maka penulis mengangkat kasus atresia ani untuk lebih memahami perawatan pada pasien dengan atresia ani. Berdasarkan berbagai masalah yang dihadapi klien, maka penulis tertarik untuk 2 mengambil Karya Tulis Ilmiah dengan judul “ Asuhan Keperawatan Pada An. A Dengan Atresia Ani Post Tutup Colostomy Di Ruang Luqman Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang ”.

 

1.2  Rumusan Masalah

 

1.3  Tujuan Penulisan

A. Tujuan Umum

Menggambarkan asuhan keperawatan anak dengan atresia ani untuk  pemeliharan kesehatan yang efektif dan mendapatkan pengetahuan dengan cara melakukan pembuatan makalah dengan masalah kesehatan atresia ani.

B. Tujuan Khusus

1.  Dapat mengetahui pengertian atresia ani pada bayi

2.  Dapat mengetahui etiologi dari atresia ani pada bayi

3.  Dapat mengetahui patofisiologis dari atresia ani pada bayi

4.  Dapat mengetahui komplikasi dari atresia ani pada bayi

5.  Dapat mengetahui klasifikasi dari atresia ani pada bayi

6.  Dapat mengetahui pelaksanaan terapi dan tindakan medis yang bertujuan untuk pengobatan dari atresia ani pada bayi

7.  Dapat mengetahui asuhan keperawatan untuk bayi dengan atresia ani

8.  Dapat mereview jurnal utama dan pendukung yang terkait dengan atresia ani

9. Dapat mengetahui kelebihan dan keterbatasan intervensi sesuai jurnal

1.4  Metode Penulisan

Dalam metode penulisan makalah ini penulis menggunakan metode studi kasus. Dalam mengumpulkan data umtuk proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian, analisa data, diagnosis, perencanaan, implementasi dan evaluasi. Teknik penulisan yaitu pengumpulan data dengan melakukan observasi kemudian menggambarkannya dengan memaparkan dalam bentuk Makalah Asuhan Keperawatan. Sedangkan untuk pengumpulan data sebagai berikut:

A. Anamnesa

Diperoleh dengan menanyakan dengan pasien dan keluarga pasien mengenai perjalanan penyakit dan hal-hal yang berhubungan dengan penyakit tersebut.

B. Observasi

Pengadaan pengamatan dan perawatan terhadap keadaan pasien serta perkembangan penyakit dengan melakukan asuhan keperawatan.

C. Studi Dokumentasi

Pengumpulan data tentang keadaan pasien dari catatan medic, catatan perawatan, hasil laboratorium, serta pemeriksan penunjang lain.

D. Studi Kepustakaan

Metode pengumpulan data dengan mempelajari sumber tertulis berupa pula yang ada hubungannya denga materi yang bersifat dalam pembuatan karya tulis ilmiah dan melalui akses internet.

1.5  Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini disusun secara sistematis dan diurutkan menjadi 5 bab :

A. Bab 1 Pendahuluan

Meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode  penulisan dan sistematika penulisan.

B. Bab 2 Tinjauan Teoritis

Meliputi pengertian, etiologi, patofisiologi, proses perjalanan penyakit, manifestasi klinik, komplikasi, klasifikasi, penatalaksanaan, pengkajian, analisa data, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi keperawatan dan evaluasi

C. Bab 3  Jurnal Review

Meliputi Jurnal utama dan pendukung yang berisikan peneliti, tujuan penelitian, desain penelitian, metodologi penelitian, pengukuran (dengan variabel, alat ukur, dan uji statistik), hasil penelitian dan rekomendasi.

D. Bab 4 Pembahasan

Meliputi kelebihan atau keuntungan intervensi dan keterbatasa atau kerugian intervensi (sesuai jurnal atau Evidence Based Practice in Nursing yang dipilih).

E. Bab 5 Penutup

kesimpulan dan saran.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

 

2.1  Pengertian

Atresia ani merupakan salah satu kelainan kongenital yang terjadi pada anak. Atresia ani (anus Imperforata) merupakan suatu keadaan lubang anus tidak berlubang (Rizema, Setiatava P, 2012).

Malformasi anorektal adalah kelainan bawaan anus yang disebabkan oleh gangguan pertumbuhan dan pembentukan anus dari tonjolan embrionik (Arif mansjoer, 2010).

Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak  berhubungan langsung dengan rektum (Purwanto, 2010).

2.2  Etiologi

Malformasi anorektal atau atresia ani belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli berpendapat bahwa kelainan ini sebagai akibat dari abnormalitas perkembangan embriologi anus, rektum dan traktus urogenital, dimana septum tidak membagi membran kloaka secara sempurna. Terdapat beberapa faktor prognostik yang mempengaruhi terjadinya morbiditas pada malformasi anorektal, seperti abnormalitas pada sakrum, gangguan persarafan pelvis, sistem otot perineal yang tidak sempurna, dan gangguan motilitas kolon.

2.3  Patofisiologi

A. Proses Perjalanan Penyakit

Terjadinya anus imperforata karena kelainan congenital dimana saat proses perkembangan embrionik tidak lengkap pada proses perkembangan anus dan rectum. Dalam perkembangan selanjutnya ujung ekor dari belakang berkembang jadi kloaka yang juga akan berkembang jadi genitor urinary dan struktur anoretal.

Atresia ani ini terjadi karena tidak sempurnanya migrasi dan perkembangan kolon antara 7-10 minggu selama perkembangan janin. Kegagalan tersebut terjadi karena abnormalitas pada daerah uterus dan vagina, atau juga pada proses obstruksi. Anus imperforate ini terjadi karena tidak adanya pembukaan usus besar yang keluar anus sehingga menyebabkan feses tidak dapat dikeluarkan.

Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstuksi dan adanya fistula. Obstuksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperchloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rectum dengan organ sekitarnya. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki- laki biasanya letak tinggi, umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostate (rektovesika) pada letak rendah fistula menuju ke urethra (rektourethralis).

B. Manifestasi Klinik

Tanda dan gejala yang khas pada klien antresia ani seperti :

1. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.

2. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.

3. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya

4. Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula).

5. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.

6. Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal, Perut kembung.

C. Komplikasi

1. Kelainan kardiovaskuler

Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.

2. Kelainan gastrointestinal

Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi duodenum (1%-2%).

3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis

Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.

4. Kelainan traktus genitourinarius

Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogenital dengan atresia ani letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani letak rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL (Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb abnormality).

5. Komplikasi jangka panjang

6. Stenosis (akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis)

7. Masalah atau kelambatan yang baerhubungan dengan toilet training

8. Inkontinensia (akibat stenosis anal atau impaksi)

D. Klasifikasi

Penggolongan anatomis untuk terapi dan prognosis:

Laki-laki:

Golongan I

Tindakan

1. Fistel urine

2. Atresia rekti

3. Perineum datar

4. Tanpa fistel. Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram

Kolostomi neonates

Operasi definitive

Usia 4 – 6 bulan

 

Golongan II

Tindakan

1. Fistel perineum

2. membrane anal meconium tract

3. Stenosis ani

4. Bucket handle

5. Tanpa fistel. Udara <>

Operasi definitive pada neonates

Tanpa kolostomi

 

 

 

Perempuan:

Golongan I

Tindakan

1.   Kloaka

2.   Fistel vagina

3.   vistel vestibulum ano

4.   Atresia rekti

5.   Tanpa fistel

Kolostomi neonatus

Usia 4-6 bulan

 

Golongan II

Tindakan

1.   Fistel perineum

2.   Stenosis

3.   Tanpa fistel. Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram.

Operasi definitif pada neonatus

 

2.4  Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada penyakit atresia ani ada dua pilihan yaitu : terapi dan tindakan medis yang bertujuan untuk pengobatan. Pengobatan farmakologis dilakukan dengan menggunakan obat-obatan sedangkan pengobatan nonfarmakologis atau tanpa obat, antara lain dilakukan dengan menganut gaya hidup sehat,

A. Terapi

Terapi suportif pasca operasi yang dibutuhkan adalah:

1) Pemasangan kateter foley dilakukan pada bayi laki-laki dengan fistula rektouretra selama sekitar 5-7 hari, kadang lebih lama.

2) Dua minggu pasca operasi dilakukan dilatasi pada anus baru menggunakan alat dilator. Dimulai dari ukuran kecil ke besar sesuai usia anak sampai tercapai ukuran diameter anus yang sesuai usia anak.

3) Konstipasi pasca pembedahan diatasi dengan pemberian laksatif dan pengaturan diet.

 

 

B. Tindakan medis

Tindakan medis pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan defek. Semakin tinggi lesi, semakin rumit prosedur pengobatannya. Untuk anomaly tinggi, dilakukan kolostomi beberapa hari setelah lahir. Bedah definitifnya, yaitu anoplasti perineal (prosedur penarikan perineum abdominal), umumnya ditunda 3-12 bulan.

Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi waktu pada pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badannya dan bertambah baik status nutrisinya. Lesi rendah diatasi dengan menarik kantong rectal melalui sfingter sampai lubang pada kulit ananl. Fistula, bila ada harus ditutup. Defek membranosa hanya memerlukan tindakan pembedahan yang minimal. Membran tersebut dilubangi dengan hemostat atau scalpel.

Pada kebanyakan kasus, pengobatan malformasi anorektal memerlukan dua tahap tindakan pembedahan. Untuk defek ringan sampai sedang, prognosisnya baik. Defeknya dapat diperbaiki, peristalsis dan kontinensia normal juga dapat diperolah. Defek yang lebih berat umumnya disertai anomaly lain, dan hal tersebut akan menambah masalah pada hasil tindakan pembedahan. Anus imperforata biasanya memerlukan operasi sedang untuk membuka pasase feses.

Tergantung pada beratnya imperforate, salah satu tindakan adalah anoplasti perineal atau colostomy : prosedur operasi termasuk menghubungkan bagian atas colon dengan dinding anterior abdomen, pasien ditinggalkan dengan lubang abdomen disebut stoma. Lubang ini dibentuk dari ujung usus besar melalui insisi dan sutura ke kulit.

Setelah colostomy, feses dibuang dari tubuh pasien melalui stoma, dan terkumpul dalam kantong yang melekat pada abdomen yang diganti bila perlu. Pengobatan pada anus malformasi anorektal juga dapat dilakukan dengan jalan operasi PSARP (Posterio Sagital Anorectoplasy). Teknik ini punya akurasi tinggi untuk membuka lipatan bokong pasien. Teknik ini merupakan ganti dari teknik lama yaitu Abdomino Perineal Poli Through (APPT). Teknik lama ini mempunyai resiko gagal tinggi karena harus membuka dinding abdomen.

 

1) Kolostomi

Kolostomi pada kolon desendens merupakan prosedur yang ideal untuk penatalaksanaan awal malformasi anorktal. Tindakan kolostomi merupakan upaya dekomprasi, diversi, dan sebagai proteksi terhadap kemungkinan terjadinya obstruksi usus. Kolostomi pada kolon desendens mempunyai beberapa keuntungan disbanding dengan kolostomi pada kolon asendens atau transversum. Bagian distal dari kolostomi akan mengalami disfungsi dan akan terjadi atropi karena tidak digunakan. Dengan kolostomi pada kolon desendens maka segmen yang akan mengalami disfungsi menjadi lebih pendek. Atropi dari segmen distal akan berakibat tejadinya diare cair sampai dilakukan peneutupan stoma dan hal ini dapat diminimalkan dengan melakukan kolostomi pada kolon desendens. Pembersihan mekanik kolon distal lebih mudah dilakukan jika kolostomi terletak di bagian kolon desendens.

Pada kasus dengan fistel anorektal, urin sering keluar melalui kolon, untuk kolostomi distal akan keluar memalui stoma bagian distal tanpa danya absorbs. Bila stoma terletak di kolon proksimal, urin akan keluar ke kolon dan akan diabsorbsi, hal ini akan meningkatkan resiko terjadinya asidosis metabolic. Loop kolostomi akan menyebabkan aliran urin dari stoma proksimal ke distal usus dan terjadi infeksi saluran kencing serta pelebaran distal rectum. Distensi rectum yang lama akan menyebabkan kerusakan dinding usus yang irreversible disertai dengan kelainan hipomotilitas dinding usus yang menetap, hal ini akan menyebabkan konstipasi di kemudian hari. Double barrel transversocolostomy dextra dengan tujuan dekomprasi dan diversi memiliki keuntungan antara lain :

a. Meninggalkan seluruh kolon kiri bebeas pada saat tindakan definitf tidak menimbulkan kesulitan

b. Tidak terlalu sulit dikerjakan

c. Stoma distal dapat berlaku sebagaimana muara pelepasan secret kolon distal

d. Feses kolon kanan relative tidak berbau dibanding kolon kiri oleh karena pembusukan feses.

e. Dimungkinkan irigasi dan pengosongan dari kantong rectum yang buntu

 

2) Posterosagital anorectoplasty (PSARP)

Metode ini diperkenalkan oleh Pena dan de Vries pada tahun 1982. Prosedur ini memebrikan beberapa keuntungan seperti kemudahan dalam operasi fistel rektourinaria maupun rektovaginal dengan cara membelah otot pelvis, sing, dan sfingter. PSARP dibagi menjadi tiga yaitu minimal, limited, dan full PSARP. Posisi penderita adalah prone dengan elevasi pada pelvis. Dengan bantuan stimulator dilakukan identifikasi anal dimple. Insisi dimulai dari tengah sacrum ke bawah melewati pusat sfingter eksterna ampai kedepan kurang lebih 2 cm. Insisi diperdalam dengan membuka subkutis, lemak, parasagital fibre dan muscle complex. Tulangcoccygeus dibelah sehingga tampak dinding belakang rectum. Rektum dibebaskan dari dinding belakang dan jika ada fistel dibebaskan juga, rectum dipisahkan dengan vagina yang dibatasi oleh common wall. Dengan jahitan, rectum ditarik melewati otot levator,muscle complex, dan parasagital fibre kemudian dilakukan anoplasty dan dijaga agar tidak tegang.

Untuk minimal PSARP tidak dilakukan pemitingan otot levator maupun vertical fibre, yang penting adalah memisahkan common wall untuk memsahkan rectum dengan vagina dan dibelah hanya otot sfingter eksternus. Untuk limited PSARP yang dibelah adalah otot sfingter eksternus, muscle fibre, muscle complex, serta tidak memberlah tulang coccygeus. Penting melakukan diseksi rectum agar tidak merusak vagina. Masing-masing jenis prosedur mempunyai indikasi yang berbeda. Minimal PSARP dilakukan pada fistell perianal, anal stenosis, anal membrane, bucket handle, dan atresia ani tanpa fistel yang akhiran rectum kurang dari 1 cm dari kuit. Limited PSARP dilakukan pada atresia ani dengan fistel rektovestibular. Full PSARP dilakukan pada atresia ani letak tinggi, dengan gambaran invertogram akhir rectum lebih dari 1 cm dari kulit, pada fistelrektovaginalis, fistel rekto uretralis, atresia rectum, dan stenosis rectum.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB 3

JURNAL REVIEW

3.1 Jurnal Utama

A. Peneliti

Dede Nurhayati, Ai Mardhiyah, Fanny Adistie. Fakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran Bandung

B. Tujuan Penelitian

untuk mengetahui kualitas hidup pada anak usia toddler paska kolostomi.

 

C. Desain Penelitian

deskriptif kuantitatif dengan sampel sebanyak 35 responden diambil dengan teknik consecutive sampling. Partisipan yang terlibat penelitian yaitu orang tua anak usia toddler yang telah dilakukan pembedahan kolostomi. Data diambil

dengan menggunakan kuesioner pediatric quality of life inventory (Peds QL).

D. Metodologi Sampling

Populasi penelitian ini adalah orang tua  memiliki anak usia toddler paska kolostomi yang dirawat dan akan dilakukan tindakan operasi definitif di Rumah Sakit Pusat Rujukan di Bandung dengan rata-rata kunjungan pasien per bulan sebanyak 35 orang. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik consecutive sampling dengan kriteria inklusi yaitu anak yang terpasang kantong stoma minimal 6 bulan setelah dilakukan tindakan kolostomi, anak berusia 1-4 tahun, tidak memiliki penyakit penyerta.Pengumpulan data dilakukan dari bulan Mei-Juni 2017.

Instrumen untuk pengumpulan data dalam penelitian tersebut berupa kuesioner. Terdiri dari 2 kuesioner untuk usia 12-24 bulan dan 2-4 tahun.Kuesioner menggunakan pertanyaan tertutup yang berhubungan dengan kualitas hidup anak yaitu pedi-atric quality of life inventory (Peds QL) infant untuk usia 12-24 bulan. Kuesioner tersusun atas 45 item terdiri dari: fungsi fisik, gejala fisik, fungsi emosi,Fungsi sosial dan fungsi kognitif. Sedangkan kuesioner

pediatric quality of life inventory (Peds QL) tod-dlers untuk usia 2-4 tahun tersusun atas 21pertanyaan terdiri dari: fungsi fisik, fungsi emosi, fungsi sosial dan fungsi sekolah di tempat penitipan anak

anak sekolah. Kuesioner dikembangkan oleh James W. Varni, diadopsi dari penelitian Mariani (2011) versi Bahasa Indonesia.

Kuesioner Peds QL ini memuat pertanyaan dengan skala 0 sampai 4. Penilaian diberikan dengan nilai 0-4 pada setiap item pertanyaan dengan rincian sebagai berikut: nilai 0 (tidak pernah ada masalah pada item pertanyaan tersebut), 1 (hampir tidak pernah ada

masalah pada item pertanyaan tersebut), 2 (kadang-kadang ada masalah pada item pertanyaan tersebut,3 (sering ada masalah pada item pertanyaan tersebut),4 (selalu ada masalah pada item pertanyaan tersebut).Pada setiap jawaban pertanyaan dikonversikan dalam sakla 0-100 untuk interpretasi standar: angka 0 = 100,angka 1 = 75, angka 2 = 50, angka 3 = 25, angka 4 =0. Nilai total dihitung dengan cara menjumlahkan nilai

pertanyaan yang mendapat jawaban dibagi dengan Jumlah pertanyaan yang dijawab pada semua bidang tersebut.

Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode statistik deskriptif. Berdasarkan hasil uji normalitas data didapatkan bahwa hasil untuk keseluruhan skor data kualitas hidup anak usia tod-dler paska colostomi berdistribusi normal, sehingga peneliti mengkategorikan berdasarkan nilai mean.Dikatakan kualitas hidup baik pada anak usia tod-dler paska colostomy apabila mempunyai total skor yang sama dengan atau lebih besar dari nilai mean dan dikatakan buruk apabila mempunyai total skor

lebih kecil dari nilai mean.

E. Pengukuran

F. Hasil Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juni 2017 di Bandung dengan jumlah sampel sebanyak 35 orang. Karakteristik anak yang diteliti meliputi usia,jenis kelamin, diagnosa medis, dan status gizi pada

anak, sedangkan karakteristik responden yang diteliti meliputi usia, pendidikan, pekerjaan, penghasilan. Dari 35 anak yang terpasang kolostomi dan menjalani perawatan di Rumah Sakit Pusat Rujukan di Bandung diketahui bahwa 68,6% berjenis kelamin laki-laki, lebih dari 50% umur anak berusia antara 3-4 tahun.Penyebab anak dilakukan pembedahan kolostomi adalah terdiagnosa malformasi anorektal (85,7%),setengah dari anak paska colostomi telah terpasang kolostomi selama >2 tahun. Status gizi anak yang terpasang kolostomi dilihat dari indikator IMT/U 68,57% memiliki status gizi baik dan 31,42% memiliki status gizi kurang. Hampir seluruh responden yaitu orang tua berada pada rentang usia 18-40 tahun atau berada pada masa dewasa awal. Hampir setengah orang tua anak bekerja sebagai ibu rumah tangga (68,6%), serta penghasilan rata-rata perbulan <UMK (65,7%). Adapun terkait tingkat pendidikan, kelompok terbesar berada pada kategori tingkat pendidikan SMA (57,1%).

Dari tabel 2 menunjukkan bahwa lebih banyak responden pada semua usia memiliki kualitas hidup yang buruk masing-masing 56,25% dan 52,73%.

Dari tabel 3 menunjukkan bahwa kualitas hidup pada dimensi kognitif memiliki nilai terendah dan dimensi sosial memiliki nilai tertinggi.

 G. Rekomendasi

Bagi perawat diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan referensi guna meningkatkan kualitas hidup anak usia toddler paska kolostomi dengan melakukan intervensi tambahan yaitu terapi psikologis kepada orang tua untuk membantu menangani emosi negatif anak dan memberikan edukasi kepada orang tua terkait prosedur dan pentingnya pemberian stimulus pada anak usia tod-

dler sehingga perkembangan kognitif anak berkembang sesuai dengan tahapan usia. Selain itu perawat perlu melakukan pengkajian rutin terkait

kualitas hidup anak usia toddler paska kolostomi, dengan melakukan pengkajian tersebut diharapkan perawat dapat mengidentifikasi permasalahan yang terjadi pada anak, sehingga memudahkan perawat untuk memberikan intervensi yang tepat. Bagi peneliti selanjutnya hasil penelitian ini dapat dijadikan data dasar untuk penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup anak paska kolostomi.

 

3.2 Jurnal Pendukung

A. Peneliti

La Rangki, Kusman Ibrahim, Aan Nuraeni, RSUD Kabupaten Muna, Akper Pemkab Muna, Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran.

B. Tujuan Penelitian

memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien pasca kolostomi secara menyeluruh. Penelitian kualitatif terhadap pasien kolostomi sangat diperlukan sebagai upaya untuk mengungkap secara mendalam pengalaman hidup pasien pasca kolostomi dan menemukan new insight, sehingga dapat menambah pengetahuan perawat dalam upaya meningkatkan kualitas asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien.

 

C. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif fenomenologi. Penelitian ini dilakukan terhadap delapan informan yang merupakan pasien rawat jalan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam (in-depth interview), dengan menggunakan alat perekam suara (voice recorder). Analisis data menggunakan metode Colaizzi. Pada penelitian ini juga memperhatikan keandalan data dan prinsip etika penelitian.

D. Metodelogi Sampling

Data didapatkan dengan wawancara mendalam terhadap delapan informan yang merupakan pasien rawat jalan, terdiri dari lima laki￾laki dan tiga perempuan, usia antara 30 tahun sampai dengan 73 tahun. Lamanya hidup dengan kolostomi antara empat bulan sampai dengan enam tahun. Analisis hasil wawancara menggunakan metode Colaizzi.

 

 

E. Teknik Pengukuran

penelitian ini diperoleh delapan tema yang merupakan kompilasi dari seluruh pengalaman informan yang hidup dengan stoma yakni: keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari, perubahan psikososial informan, keterbatasan dalam ritual keagamaan atau distres spirual, keterbatasan dalam aktivitas sosial, sumber-sumber dukungan bagi informan, upaya menjalani hidup dengan stoma, adaptasi terhadap perubahan yang terjadi, dan penyulit dalam menjalani hidup dengan kolostomi.

Tema pertama dalam penelitian ini yaitu keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari. Informan dalam penelitian ini mengalami kondisi yang serba terbatas untuk melakukan segala sesuatu dalam kehidupannya, yakni sebagai berikut: keterbatasan dalam makan dan minum, keterbatasan dalam beraktivitas dan bekerja, keterbatasan dalam istrahat dan tidur, keterbatasan dalam buang air kecil, dan keterbatasan untuk mandi, merawat luka dan ganti kantong.Penelitian ini menemukan bahwa informan mengalami keterbatasan dalam memilih makanan. Seperti yang dikeluhkan oleh beberapa informan dalam penelitian ini. “....saya hindari makan pedas, asam dan tidak minum susu, karena selalu mencret....”(I.5) ,“......makan nggak masuk, saya dikasih air saja satu sendok, sama susu sedikit aja, trus dikasih bubur tapi nggak masuk......” (I.3)

 

Tema kedua dari hasil penelitian ini yaitu perubahan psikososial informan. Selain perubahan secara fisik, muncul juga perubahan secara psikologis dan dalam berinteraksi sosial, berupa adanya perasaan takut, stres dan cemas serta perubahan pada komponen konsep diri berupa perubahan pada citra tubuh, peran diri, dan ideal diri. Pada kategori ini terungkap beberapa hal yaitu: adanya rasa takut akibat kanker, perubahan pada citra tubuh, perubahan pada peran diri, perubahan pada ideal diri, perubahan pada harga diri, dan perubahan pada interaksi sosial.Ketakutan pada informan muncul setelah didiagnosis kanker kolon dan rektum. Stres juga dirasakan akibat hidup dengan stoma. Berikut ungkapan informan: “....saya sering dengar tetangga bilang, kalo operasi dua kali pasti mati katanya, saya takut sekali...” (I.1) “.....kata dokter saya kena kanker, saya takut mati, persiapan saya belum banyak bila mati sekarang....”(I.4)

 

Tema ketiga yang didapatkan dari hasil penelitian ini yaitu keterbatasan dalam ritual keagamaan atau distres spiritualHidup dengan kolostomi juga menyebabkan perubahan informan dalam kegiatan ibadah sehingga mengalami distres spiritual, hal ini dialami oleh semua informan. Pada tema ini, informan mengungkapkan bahwa terdapatnya perubahan pada perilaku ibadah dan pertentangan pada keyakinan informan.Pada penelitian ini ditemukan bahwa pada awalnya informan merasa risih bila salat dengan kantong yang melekat pada dinding perutnya. Berikut ungkapan informan:“....saya sejak awal saya merasa malu bertemu Tuhan soalnya saya rasa diri tidak suci, kentut terus saat sembahyang, kadang saya kena mencret, trus saya juga tidak bisa sujud karena takut kantong kolostomi saya bocor dan tertarik, makanya saya tidak berani sholat, sekarang ini saya sholat dengan berdiri saja tanpa sujud...” (I.4) “....saya risih bila sholat... menghadap sama Tuhan dengan kondisi begini..” (I.2)“.....saya belum sholat jumat sejak operasi empat bulan yang lalu, masih rasa risih juga....” (I.6)

 

Tema keempat dari penelitian ini yaitu adanya keterbatasan dalam aktivitas seksual Hidup dengan kolostomi juga berdampak pada perubahan aspek seksual yang dialami oleh sebagian informan. Beberapa informan mengalami disfungsi ereksi akibat dari efek terapi sinar. Berikut ungkapan informan:“...saya takut untuk hubungan badan, karena berpengaruh pada kantong stoma saya...”(I.2)“...setelah sinar, saya alami yang orang sebut disfungsi ereksi,jadi sulit hubungan badan...” (I.1)“....setelah operasi saya alami kesulitan ereksi, tpi lama-lama bisa pulih lagi, mungkin karena banyak pikiran jadi berpengaruh juga...” (I.3)

 

Tema kelima dari hasil penelitian ini yaitu adanya sumber-sumber dukungan bagi informan. Pada penelitian ini setiap informan banyak mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, dukungan tersebut sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup informan setelah menjalani hidup dengan kolostomi. Pada tema ini teridentifikasi tiga subtema yaitu dukungan keluarga, dukungan kelompok, dan dukungan dari dokter dan perawat. Pada penelitian ini semua informan mendapatkan dukungan dari keluarga, mulai dari sejak didiagnosis kanker kolon dan rektal hingga setelah operasi kolostomi.Sebagaimana ungkapan informan berikut ini:“....sejak dari rumah sakit ketika dirawat saya selalu ditemani, termasuk setelah operasi, saya dilatih duduk, terus berdiri kemudian berjalan dan selalu dimotivasi untuk tetap kuat...”(I.2)

 

F. Hasil Penelitian

Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa informan mengalami keterbatasan dalam melakukan aktivitas atau kegiatan harian. Setiap manusia menginginkan untuk hidup secara bebas dalam melakukan segala sesuatu yang diinginkannya, namun tidak demikian pada pasien stoma pascakolostomi. Pasien stoma mengalami banyak perubahan. Kondisi ini dapat menjadikan pasien merasa terbatas untuk melakukan segala sesuatu.

Beberapa informan menyatakan bahwa dirinya mengalami keterbatasan memilih jenis makanan. Perubahan tersebut berupa makan bubur, menghindari makanan pedas,bumbu-bumbu, asam dan susu, juga terjadi penurunan nafsu makan. Dampak dari hal tersebut menyebabkan terjadinya keraguan memilih makanan. Kondisi ini dapat menurunkan status kesehatan pada informan, sebaiknya informan juga tetap mencoba untuk mengonsumsi makanan yang ada untuk memperbaikan kondisi kesehatan pasien. Hal ini sebagaimana pernyataan Vujnovich (2008) bahwa terdapat banyak isu yang penting untuk didiskusikan

dengan pasien stoma, termasuk tentang diet.

Manajemen diet pascakolostomi sangat penting dilakukan pada pasien yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sumbatan pada bagian usus besar pascabedah, meningkatkan proses penyembuhan pada luka operasi dan meminimalkan terjadinya gangguan pada saluran pencernaan, seperti kentut, diare, kostipasi, dan bau stoma. Pada kondisi postoperation sangat penting makanan tinggi kalori, tinggi protein untuk penyembuhan luka, dan rendah lemak (Akbulut, 2011).

Pada penelitian ini beberapa informan mengalami kesulitan melakukan aktivitasnya sehari-hari dalam pemenuhan kebutuhannya, sehingga sebagian besar informan dibantu oleh keluarga terutama oleh suami ataupun istridari informan. Kesulitan untuk melakukan aktivitas ini membuat informan menjadi ketergantungan pada keluarganya, hal ini akan berdampak pada terhambatnya keluarga dalam tugas harian mereka. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Karadag, dkk., (2002) yang menyimpulkan bahwa kolostomi memiliki dampak negatif yang sangat berat pada kualitas hidup pasien. Sedangkan pada penelitian lain juga menemukan bahwa stoma berpengaruh pada keterbatasan melakukan aktivitas sehari-hari dan pergaulan sosial (Joshland, Brennan, Anastasiou, & Brown, 2011). Pasien dengan stoma menghadapi beberapa stres khusus, yakni kemungkinan terisolasi, harga diri yang rendah, gangguan citra tubuh, dan memiliki rasa tidak kompeten (Black, 2004).

Terbatasnya pemenuhan istrahat dan tidur juga dialami oleh beberapa informan pada penelitian ini. Pada informan tujuh, penyebab susah tidur lebih diakibatkan karena adanya rasa sakit dan pegal pada punggung dan paha. Sedangkan pada informan lima sulit tidur diakibatkan oleh banyak memikirkan masa depan keluarga bila dirinya meninggal akibat penyakit yang dialaminya. Informan yang mengalami kesulitan tidur ini berdampak pada perubahan kesehatan mental informan yang juga berdampak buruk pada kondisi fisik secara keseluruhan.

Perubahan pada aspek fisik yang juga dialami oleh pasien stoma pascakolostomi adalah pengalaman eliminasi urin berupa tidak bisa buang air kecil juga ditemukan pada penelitian ini, seperti yang dialami oleh informan dua dan informan tujuh. Perubahan pada eliminasi berupa disuria, dimana klien merasakan kesulitan kencing dan rasa sakit ada kandung kemih. Penelitian yang dilakukan Lone, dkk. (2007) dengan metode prospektif, terhadap 249 pasien kanker kolorektal dengan lama berkisar 3, 6, 12, 24 bulan setelah operasi, selanjutnya dilakukan follow up, sehingga diperoleh hasil bahwa pasien dengan stoma memiliki masalah pada perkemihan berupa sulit dan terasa sakit saat berkemih.

 

 

 

G. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pengalaman yang dialami oleh informan dengan kolostomi berupa keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, perubahan psikososial informan,perubahan dalam perilaku ibadah atau distres spiritual, berbagai sumber dukungan bagi informan, upaya menjalani hidup dengan stoma, serta penyulit hidup dengan kolostomi.

Hasil penelitian ini menemukan new insightberupa individu yang hidup dengan kolostomi mengalami distres spiritual. Temuan lain juga terkait dengan kurangnya informasi yang dialami oleh beberapa informan dan

kesulitan terhadap akses pelayanan kesehatan dalam menjalani kemoterapi dan radioterapi terutama informan yang berada di luar daerah

Bandung.

Hasil penelitian ini dapat juga dijadikan acuan bagi perawat dalam melakukanpengkajian kebutuhan asuhan keperawatan pada pasien pascakolostomi. Selanjutnya hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai dasar rujukan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pengembangan model intervensi panduan ibadah pada pasien dengan kolostomi.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anatomi fisiologi kulit

  Anatomi fisiologi kulit A.       Antomi kulit 1.       Lapisan Epidermis (kutikel) a.        Stratum Korneum (lapisan tanduk) :   la...